Jakarta – Riset Gartner menyebutkan sebanyak 90% organisasi global akan menjalankan containerized applications dalam produksi pada 2026. Jumlah ini naik dibandingkan 2021 dari 40%.
Sementara itu studi yang dilakukan Forrester mengutarakan sebanyak 86% pemimpin teknologi informasi (TI) yang disurvei telah memprioritaskan perluasan penggunaan kontainer untuk lebih banyak aplikasi.
Kontainer dan edge computing telah menjadi dasar distribusi aplikasi modern yang berjalan secara langsung denan hitungan milidetik bisa menentukan pengalaman hingga keselamatan pengguna.
Kontainer juga menjadi standar dalam pembangunan dan deployment aplikasi modern sehingga aplikasi dapat dijalankan secara konsisten.
Chief Technical Officer, Cloud Computing, Akamai Technologies, Jay Jenkins mengatakan kontainer mengemas aplikasi bersama konfigurasi dan seluruh komponen eksternalnya (dependencies).
Jadi, deployment menjadi lebih konsisten dan terprediksi di berbagai lingkungan.
Pada saat yang sama kebutuhan performa real-time dan rendah latensi pada berbagai jenis aplikasi mendorong pergeseran arsitektur dari cloud terpusat ke edge computing.
“Bahkan penundaan kecil yang hanya beberapa detik saja dapat berujung pada pengalaman pengguna yang membuat frustasi dan, pada akhirnya, membuat pengguna berpindah (ke aplikasi/layanan lain,” katanya.
Beberapa jenis aplikasi kritis bisa membahayakan pengguna jika latensi rendah tidak terpenuhi seperti di bidang kesehatan, aplikasi real time untuk memantau data kesehatan dan tanda-tanda vital pasien membutuhkan latensi pada kisaran 10-700 milidetik.
Untuk aplikasi telekonsultasi bisa mentolerir latensi beberapa ratus milidetik dan operasi jarak jauh (telesurgery) dan komunikasi darurat seperti peringatan cepat atau respons segera latensinya harus kurang dari 100 milidetik.
Sementara itu aplikasi smart grid memiliki kebutuhan latensi yang bervariasi, tetapi beberapa fungsi kritis, seperti otomatisasi gardu induk, memerlukan latensi yang sangat rendah sekitar 3 milidetik (ms).
Aplikasi lainnya seperti respons permintaan (demand response) atau pencatatan gangguan (fault recording) masih dapat mentoleransi latensi yang lebih tinggi, hingga 1–2 detik.
Pada sisi lain saat beban kerja dipindahkan ke tepi jaringan (edge), apalagi dalam skala global, tim operasi pun dihadapkan pada tantangan kompleksitas.
Jay Jenkins meneruskan konsistensi konfigurasi, latency yang terkendali, dan monitoring real-time untuk workload data-intensive dan latency-sensitive harus dijaga di setiap lokasi edge. Langkah tersebut merupakan sebuah tugas yang hampir mustahil jika dilakukan secara manual.
“Selain itu, menyeimbangkan kinerja tinggi dengan efisiensi biaya di seluruh arsitektur terdistribusi tetap menjadi perhatian utama bagi banyak perusahaan,” ucapnya.
Akamai Managed Container Service (MCS) mengatasi kompleksitas ini dengan menggabungkan edge-first infrastructure dan otomasi penuh.
Sebanyak 4.300 lebih Point of Presence (PoP) di 700 lebih kota di dunia menjalankan kontainer-kontainer pelanggan Akamai menggunakan full-stack GPU/VPU, object storage, dan database terkelola.
“Setiap paket aplikasi di-deploy dengan model deklaratif mirip Kubernetes, memastikan setiap node converges pada state yang sama,” tuturnya.
MCS menawarkan autoscaling otomatis dan observability end-to-end yang menunjang tim DevOps fokus pada pengembangan fitur dibandingkan mengatasi masalah infrastruktur .
Cakupan global dan pendekatan full-stack di edge, ucap Jay Jenkins, sebagai keunggulan Akamai MCS jika dibandingkan layanan sejenis dari penyedia lain. Dia menekankan bahwa dengan jaringan PoP di 700+ kota, latensi bisa ditekan seminimal mungkin.
“Model biaya flat egress pricing membantu organisasi dan perusahaan menghindari lonjakan tagihan saat trafik melonjak. Dengan demikian, organisasi bisa merencanakan anggaran lebih stabil dan tidak dikenakan biaya tambahan saat permintaan tinggi,” tuturnya.
Akamai Managed Container Service dirancang khusus untuk beban kerja yang membutuhkan latensi rendah, daya tanggap real-time, dan kekuatan komputasi lokal.
“Hal ini menjadikannya sangat sesuai untuk industri dan aplikasi yang sama sekali tidak bisa mentoleransi keterlambatan,” ucapnya.
Jay Jenkins meneruskan layanan ini difokuskan k mendukung aplikasi real-time, seperti game online, platform fintech, dan layanan streaming video, yang tidak mentolerir keterlambatan bahkan dalam hitungan milidetik.
Area lain yang menjadi fokus Akamai mulai dari perangkat kesehatan yang terhubung dan pemantauan pasien jarak jauh, hingga manufaktur pintar dan pelacakan aset di pertambangan.
“Sektor layanan kesehatan turut diuntungkan dengan kemampuan memroses data pasien yang sensitif langsung di server edge, sehingga meningkatkan daya tanggap (responsiveness)sekaligus mendukung kepatuhan,” ucapnya Jay Jenkins.
Pada sisi sektor seperti ritel dan transportasi mengadopsi berbagai use case seperti analisis inventaris secara real-time, pengawasan, navigasi kendaraan otonom, dan interaksi pelanggan yang bersifat lokal.
Jay Jenkins mengapresiasi infrastruktur internet di Indonesia telah mengalami kemajuan yang signifikan, tapi masih ada sejumlah tantangan maupun peluang yang unik.
“Dengan negara kepulauan yang luas dan konektivitas yang tidak merata di seluruh wilayah, menghadirkan pengalaman digital yang konsisten dan latensi rendah masih menjadi hal yang rumit-khususnya untuk aplikasi berkinerja tinggi dan sensitif terhadap waktu,” ujarnya.
Dengan begitu Akamai menyesuaikan teknologinya dengan kondisi unik tersebut dan akuisisi Linode dan core compute region di Jakarta akan menyelaraskan layanan Akamai MCS ke peta jalan digital nasional.
Jadi, pelanggan lokal DS dapat menikmati akses server edge tanpa harus bergantung pada backhaul panjang ke pusat data region asing.
Kemitraan Akamai dengan ISP lokal juga diharapkan bisa memperkuat konektivitas hybrid, memungkinkan failover otomatis dan caching di lokasi terpencil untuk menjaga ketersediaan layanan. (adm)
Sumber: Info Komputer